KABUPATEN Samosir ikut melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tanggal 9 Desember 2020. Pilkada di Samosir berlangsung lancar dan tertib mengikuti protokol kesehatan sesuai pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Perolehan suara sementara sudah banyak diberitakan, dalam mana, pasangan nomor urut dua unggul dari pasangan calon (paslon) lainnya.
Samosir terletak di Pulau Samosir dan sebagian Pulau Sumatra yang dipisah Danau Toba. Penduduk sebanyak 126. 188 jiwa dan sesuai Daftar Pemilih Tetap (DPT) jumlah pemilih 92.890 di 9 kecamatan, meliputi 6 kelurahan dan 128 desa dengan 175 Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Samosir tiba-tiba dipopulerkan oleh Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatra Utara Drs. Djarot Saiful Hidayat dalam keterangan pers di Jalan Djamin Ginting Medan (Tribun Medan 10/12) dengan judul “Djarot Blak-blakan ada Dugaan Money Politik Hingga Rp 100 Miliar di Pilkada Samosir”.
Sangat menarik perhatian jumlah uang yang spektakuler Rp 100 miliar ditabur di Samosir. Sebagai tokoh partai besar, mantan Wali Kota Blitar, anggota DPR RI, Wakil Gubernur/Gubernur DKI, walaupun kemudian “tersandung” dalam Pilkada untuk memimpin Sumut, 27 Juni 2018, Djarot membuat berita tersebut semakin penting, walaupun hanya “dugaan” dan “tidak masuk akal”.
Tanggapan beragam bermunculan termasuk dari simpatisan PDIP seperti “kok ada yang tega memberi informasi isapan jempol”, “mengapa Pak Djarot tidak cek dan recek”. “Kalau sampai Rp 100 miliar maka rakyat Samosir sudah makmur mendadak”.
Memang kurang fatsun, “dugaan” yang “tidak masuk akal” dikemukakan ke publik apalagi menyangkut harkat dan martabat orang-orang yang menggunakan hak demokrasinya.
Tidak perlu dipertanyakan, apakah kader Pak Djarot bersih atau tidak, atau Pak Djarot hanya “tersihir” oleh par-“barita ulok” yaitu yang membesar-besarkan sesuatu (ibarat orang menemukan ular sebesar jari disebut sebesar pergelangan), biarlah hasil investigasi yang membuktikannya.
Keterangan beliau, partainya menang di 15 daerah, hanya di Samosir dan Karo partainya kalah karena ada dugaan money politics. “Untuk Kabupaten Samosir, Djarot menilai terlalu unik, soalnya pihak lawan diduga mengeluarkan uang Rp 100 miliar lebih”.
Samosir memiliki tradisi dan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang tidak ada di daerah lain, seperti Togu-Togu Ro (TTR)- ikatan kasih supaya hadir, hansit mulak mangido alai unhansit do mulak mangalean (sakit meminta tidak dikabulkan, tetapi lebih sakit diberi, tetapi tidak diterima). Kalau tidak dipahami semua bisa keliru, sebab tradisi tersebut tidak selamanya cocok dipakai untuk persaingan atau demokrasi.
Money politics dalam Pilkada adalah salah, sementara TTR adalah tatakrama ikatan kasih dalam persaudaraan karena genealogi dan perkawinan serta ikatan janji. Karenanya pemberian itu harus dipilah-pilah, apakah money politics atau bantuan sembako di kala pandemi Covid-19 ini.
Sebagai “dugaan” saja apalagi “tidak masuk akal” tidak perlu ditanggapi berlebihan oleh masyarakat Samosir, jauh lebih penting dan berharga persaudaraan Masyarakat Hukum Adat Dalihan Na Tolu yang dibutuhkan sekarang dan esok seterusnya.
“Dugaan” yang “tidak masuk akal” itu dari statistik memang benar tidak masuk akal, masyarakat Samosir boleh tersinggung tidak hanya 20.422 suara yang diperoleh pasangan pemenang. Yang lain bisa lebih tersinggung sebab sesuai DPT pemilih hanya 92.890, perolehan suara pemenang 20.422, kalau Rp 1 juta seorang hanya Rp. 20.422.000.000,- belum Rp 100 miliar. Artinya sama dengan menuduh yang memilih kader Pak Djarot juga menerima, alias membelot, tidak masuk akal.
Jadi memang tidak masuk akal, oleh karenanya dianggap saja itu kepentingan politik dengan “lihat kiri tujuan kanan”, dan juga sering lupa menunjuk itu, hanya satu jari ke orang lain sementara tiga jari itu ke diri sendiri.
Terserah benar atau tidak “dugaan” yang “tidak masuk akal” itu; apakah “pihak kawan” Pak Djarot tidak money politics di Pilkada Samosir, yang jelas Pilkada seharusnya 23 September 2020 diundur menjadi 9 Desember 2020, sejak Maret sudah ditetapkan pandemi Covid-19, selama tenggang waktu tersebut penggalangan terus berlangsung, ada juga pembagian sembako, masker dan sanitizer, termasuk cangkul dan payung, yang kalau diaudit sampaikah Rp 100 miliar?
Untuk itu kenyamanan dan keharmonisan Masyarakat Hukum Adat Dalihan Na Tolu lebih penting, karenanya harus tetap dipelihara sesuai dengan strukturnya, biarlah demokrasi semakin dewasa.
Harus diingat “tampulon aek do na mardongan tubu”, artinya walaupun ada yang memotong air, sekejap saja air itu akan bersatu.
Demokrasi silih berganti, tetapi ikatan darah Dalihan Na Tolu adalah abadi dengan asih, asah, asuh disertai keikhlasan dan kejujuran.***
(Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta)