Oleh Bachtiar Sitanggang
SELAMAT jalan Bapak Teknologi, Bapak SDM, dan Bapak Demokrasi Indonesia Prof. Bacharuddin Jusuf Habibie, dalam usia 83 tahun. Prof. BJ Habibie, kepada siapa pun dan kapan pun akan selalu bicara pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Diminta atau tidak diminta dia akan bercerita banyak hal dengan menerangkannya secara runut seolah-olah pendengarnya mengerti, bahwa untuk meningkatkan taraf hidup manusia harus dengan menguasai iptek dan takwa.
Biasanya, kalau Prof. Habibie diterima Presiden Soeharto selalu jadwal terakhir dan para wartawan pasti meninggalkan ruang pers, baik di Istana Medeka, Binagraha, maupun kediaman Presiden Jalan Cendana, karena dilanjutkan dengan makan siang yang tidak pernah selesai satu-dua jam.
Mengapa? Karena beliau akan berlama-lama berbicara dengan Presiden. Kalau Presiden Soeharto menerima Pak Habibie, Staf Humas Setneg, Bung Saidi (yang bisa keluar masuk ruangan Kepala Negara), sambil tertawa mengatakan kepada para wartawan: "Sudah pulang aja bung, lama itu."
Pak Habibie mungkin tidak seperti menteri lain yang melaporkan bidangnya masing-masing, karena dia sebagai Menteri Riset dan Teknologi juga membawahi berbagai industri strategis, seperti, PT Pindad, PT PAL, PT, dan IPTN, jadi mungkin saja Pak Harto membutuhkan penjelasan untuk dapat mendalami berbagai permasalahan iptek tersebut. Karena cakupan iptek tersebut luas dan rumit, kalangan wartawan, yang biasa meliput di Istana, sering sulit menangkapnya, sehingga ada guyonan, "keterangannya Pak Habibie dimuat juga, rakyat tidak bakal ngerti." Kira-kira begitu.
Nah, Habibie adalah sosok yang menyenangkan, tidak ada musuh, tidak ada kebencian serta akrab dengan semua orang. Hanya saja seolah-olah beliau memaksa orang untuk bisa dan mampu menerapkan ilmunya. Tetapi, itu adalah keinginan untuk percepatan peningkatan taraf hidup manusia.
Pak Habibie disebut sebagai Bapak Teknologi, tidak ada yang meragukan dan bahkan sulit menjelaskan penguasaan dan gagasan beliau di bidang itu. Saya pernah mengikuti kunjungan kerja Wakil Presiden Sudharmono ke Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong, Tangerang, Jawa Barat (sekarang Banten) mengunjungi sekitar 13 objek penelitian. Rombongan terheran-heran tidak ketinggalan Wapres, karena yang menjelaskan perlunya serta cara kerja berbagai peralatan di sana adalah Menristek Prof. BJ Habibie, tidak seperti lazimnya, yang menjelaskan sesuatu objek adalah kepala lembaga tersebut. Tetapi, saat itu yang menjelaskan sejak masuk ke ruangan sampai keluar adalah Prof. BJ Habibie, sementara kepala-kepala pusat penelitian itu seolah-olah turut menyimak seperti mahasiswa di bangku kuliah.
Digelari sebagai Bapak SDM, karena BJ Habibie yang membuka wawasan tentang pentingnya peningkatan kemampuan generasi muda melalui pendidikan di luar negeri dengan memberikan beasiswa. Tidak terkira dana yang dikeluarkan untuk mengirim putra-putri terbaik menimba ilmu ke luar negeri. Tidak bisa dibantah, "buah"-nyalah para teknokrat yang menggeluti industri-industri strategis saat ini.
Dia juga disebut sebagai Bapak Demokrasi, karena BJ Habibie yang membuka kran multipartai, kebebasan pers, membuka cakrawala baru bagi setiap orang dapat mengeluarkan pendapat dan pikiran, terutama memberikan hak-hak sipil dan berbagai hal termasuk pemberian otonomi daerah.
Kalau sekarang ada yang menggunakan kebebasan yang dimulai Prof. BJ Habibie dan dilanjutkan Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mungkin ada kesalahan mengerti dari tujuan kebebasan itu, seperti, hoax, fitnah, dan ujaran kebencian. Prof. Habibie dan Gus Dur adalah pembawa perdamaian serta pejuang hak-hak asasi manusia.
Belajar dari fenomena BJ Habibie, partai politik dan tokoh-tokoh masyarakat sudah harus mengubah paradigma, apalagi di daerah-daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020. Barangkali perlu meningggalkan paradigma lama dalam mencalonkan generasi tua. Sudah waktunya memberikan tugas pelayanan kepada generasi milenial yang mau mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan, tidak selalu menampilkan generasi tua yang penuh beban dan utang budi, apalagi yang mengandalkan money politics, janji palsu, dan kampanye hitam.
Kalangan cendekiawan, sebagai pendukung, juga hendaknya tidak menjerumuskan bakal calon dengan iming-iming kemenangan. Jangan memikirkan calonnya menang, sementara KPK menanti dengan OTT-nya. Tanpa penguasaan iptek, misalnya, bagaimana Bupati Tobasa dan Samosir, mampu menjejajarkan Kawasan Danau Toba setara dengan tujuan wisata tingkat dunia? Bukan zamannya lagi pejabat berlagak "ama lompas" dan "nai malvinas".
Selamat jalan Pak BJ. Habibie, semoga jejakmu diikuti penyelenggara negara ini.***
Penulis adalah watawan senior dan advokat, berdomisili di Jakarta.