DENGAN penyertaan Roh Kudus Sinode Godang 65 Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) berlangsung dalam sukacita di tengah pandemi Covid-19. Sinode Godang, telah menahbiskan Ephorus Pdt. Dr. Robinson Butarbutar, Sekjen Pdt. Dr. Viktor Tinambunan, Kepaa Departemen (Kadep) Koinonia Pdt. Deonal Sinaga, Kadep Marturia Pdt Kardi Simanjuntak, Kadep Diakonia Pdt. Dr. Debora P Sinaga serta 32 Praeses di gereja HKBP Pearaja, Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.
Tangan Tuhan yang memilih Parhalado Pusat (Pimpinan Pusat) dan Praeses tersebut di Sinode Godang berdasarkan Aturan dan Peraturan (AP) HKBP. Dengan keyakinan itu para jemaat perlu berdoa dan mendukung gembala yang baru ditahbiskan agar mampu meletakkan dasar-dasar pengembalaan dan pekabaran Injil di era yang canggih dan cepat berubah ini.
Melihat ke depan perlu disimak sambutan Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, yang mengatakan, usaha manusia saja tidak cukup dalam hidup ini, apalagi memimpin dan membawa HKBP ke arah yang lebih baik. Yang paling dibutuhkan adalah campur tangan Roh Kudus. Gomar pun mengajak kelima pimpinan HKBP bersama para Praeses mengandalkan kekuatan Roh Kudus, sebab tantangan yang dihadapi HKBP, bersama gereja-gereja di Indonesia, makin hari makin berat di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pdt. Gomar, yang pernah bekerja di Kantor Pusat HKBP di Pearaja, melanjutkan, “Masyarakat dan Bangsa Indonesia membutuhkan sentuhan tangan HKBP. Peran transformatif HKBP telah begitu menyejarah. Jejak-jejak HKBP tercatat di sanubari umat, sekalipun mereka sudah jadi warga gereja lain. Itu sebabnya saya kira, mata dan hati tertuju ke Pearaja ini dengan penuh harap.”
HKBP sebagai tubuh Kristus, mungkin dilihat Ketua Umum PGI belum menunjukkan dirinya sebagai garam dan terang, oleh karenanya ia mengajak seluruh warga HKBP untuk sedia menopang dalam doa dan ragam dukungan dengan segenap hati, maka masyarakat dan bangsa ini akan menghargai HKBP, yang pada gilirannya membuktikan diri sebagai gereja yang Tuhan utus di bumi Indonesia.
Pdt. Gomar memandang HKBP sebagai raksasa tidur, dan tidurnya sangat lelap dan lama, sehingga banyak potensi di dalamnya yang dibiarkan tak berkembang, dan telalu lama sibuk hanya ngurusin masalah internal yang tak pernah habis-habisnya. Bahkan ia mengungkapkan kekhawatirannya dengan mengutip Matius 25: 14-30, diterapkan ke HKBP, adanya “hamba yang jahat dan malas”.
Kepengurusan periode ini diharapkan membangkitkan seluruh petensi yang dimiliki HKBP, bekerja sesuai potensi dan porsi dengan menempatkan personalia yang tepat tidak lagi dengan sistem “Dalihan Na Tolu, Paopat Sihal-sihal” (kedekatan dan pertemanan).
Pada tahun pertama harus sudah dapat diidentifikasi permasalahan yang diprioritaskan untuk diselesaikan atas dasar pengkajian oleh badan penelitian dan pengembangan. Dengan demikian kepengurusan yang sekarang, sebagai generasi yang mengalami kemelut dengan generasi yang terlibat kemelut, harus selesai.
Sehingga HKBP terhindar dari “sibuk hanya ngurusin masalah internal yang tak pernah habis-habisnya” seperti yang dikemukakan Pdt. Gomar.
Dengan besar dan beratnya tanggung jawab Pimpinan Pusat harus juga dipikul 6,5 juta jemaat dan untuk itu harus dipikirkan bagaimana menggalang partisipasi aktif jemaat, sehingga anggaran dan pendapatan dapat teratasi. Keikutsertaan jemaat juga bergantung pada faktor kepemimpinan, sampai seberapa besar pengaruh “parhalado” bagi kehidupan kerohanian jemaat akan menjadi motivasi partisipasi aktif jemaat, baik dana maupun daya.
Apakah satuan-satuan kerja yang ada dalam AP HKBP sudah menjalankan fungsi masing-masing untuk itu? Apakah tertidur dan bahkan jadi beban? Tidur tidak pada waktunya apalagi terlalu lama terlelap menyebabkan potensi yang seharusnya diraih, telah hilang. Akan semakin rugi, kalau keliru perhitungan, seperti membangun gedung yang mengabaikan pelayanan yang dapat menghasilkan seperti rumah sakit dan lembaga-lembaga pendidikan.
Apakah tertidurnya HKBP selama ini akibat dari AP 2002, atau karena sibuk mengurus diri sendiri yang tidak selesai-selesai? Perlu dikaji, apakah masalah itu akibat pengorganisasian dan tata kelola di AP HKBP 2002.
Untuk mengetahuinya perlu adanya pembandingan AP sebelum tahun 1962, AP setelah kemelut era Orde Baru, AP HKBP 2002 dan tahun 2020, serta harus pula disesuaikan dengan memprediksi masa depan. Sebagai gereja Protestan dan Lutheran apakah Kantor Pusat sebagai fasilitator saja atau sebagai pemimpin/pemerintah sentralistik seperti selama ini? Kalau ya di mana persoalannya?
Dalam AP sekarang Kantor Pusat ditempatkan sebagai sentral pemerintahan, padahal ujung tombak penginjilan adalah Resort dan Huria. Karenanya ada yang berharap fungsi Ephorus dikembalikan sebagai pimpinan spiritual dan fungsi Praeses sebagai koordinasi antarresort.
Pimpinan Pusat menjadi sumber pengarahan pelayanan keimanan (pusat spiritual), bukan pusat organisasi/pemerintah utk seluruh jemaat. Pusat mengurus pelayanan penginjilan khusus saja seperti di Enggano, Rupat, Mentawai, dan lain-lain.
Harapan perbaikan ditaruh di pundak Ephorus, seorang yang rohani dan rendah hati yang akan dapat membawa HKBP ke arah yang lebih baik, walaupun kesulitan HKBP terlanjur sebagai organisasi keagamaan menjadikan pejabatnya menjadi pemimpin organisasi dunia dan tidak lagi sebagai pelayan, seperti ajaran Kristus. Anggota jemaat, bukan lagi domba Kristus tetapi dianggap menjadi dombanya. Akibatnya, mempermalukan Kepala Gereja yaitu Kristus, sampai berantam di gereja karena perpindahan pendeta. Masalah akan dapat selesai kalau para gembala memohon penyertaan Roh Kudus.
Sebagaimana Matius 25 : 14-30 selain berlaku untuk pimpinan tetapi juga untuk jemaat, karenanya kalau tidak bisa membantu sebagai warga gereja yang takut akan Tuhan, janganlah menjadi batu sadungan.
Selamat Natal dan Tahun Baru 2021.***
(Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta)