BERKAITAN dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ada yang bertanya: “adakah kepala daerah terpilih rela uang yang dikeluarkan selama Pilkada tidak kembali? Mengembalikan pengeluaran itu harus melalui korupsi, apa tidak takut?” Pertanyaan kedua, “adakah calon yang sudah selesai dengan dirinya?
Pertanyaan tersebut berkaitan dengan Pilkada yang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil) serta tanpa suap dan sogok (tanpa money politics-beli suara dan serangan fajar).
Selama pilkada luber-jurdil dilaksanakan, pasti bupati dan wakilnya boleh dikatakan sudah “selesai dengan dirinya”. Tidak perlu “lelang jabatan” dan “jual proyek” serta tipu sana-sini (tipsani).
Bagi yang main duit tidak mungkin mensedekahkan harta kekayaannya yang dihabiskan memperoleh jabatan itu sebagai “persembahan” (pelean) seperti kepada Yang Maha Pencipta. Apalagi kalau dana yang dipakai itu dipinjam harus dikembalikan.
Oleh karenanya banyak yang beranggapan, bahwa amat sulit menemukan orang yang telah selesai dengan dirinya, serta Pilkada tidak mungkin tanpa money politics. Apalagi ada pameo saat ini “wani piro -sadia par kepala” (berani berapa) dan di kawasan Danau Toba, “jelas do” dan setiap ada pertemuan sering dikaitkan dengan “togu-togu ro”.
Seolah dianggap standard umum, menjadi kabur money politics yang menjadi cost politics - politik uang dengan ongkos politik. Tidak hanya untuk jabatan di pemerintahan, di organisasi profesi dan kemasyarakatan juga sudah tertulari “uang jalan dan transport” seolah jadi syarat. Banyak organisasi profesi tidak karuan gara-gara “perebutan” atas dasar transasksi suara.
“Alah bisa karena biasa”, akhirnya “kejahatan” seperti suap, sogok dan beli suara jadi dianggap kebiasaan, ujungnya menjadi keharusan dan kewajiban. Membenarkan kebiasaan buruk dan tidak lagi membiasakan untuk berbuat yang benar.
Di seputaran Jabodetabek, pemilihan RT dan RW saja kampanyenya ada yang jor-joran, di sekitar KDT untuk jadi anggota Badan Musyawarah Desa (BMD) sudah main uang, untuk Kepala Desa (Kades) sudah jutaan rupiah mungkin karena anggaran Desa sudah miliaran pertahun?
Kita sebagai masyarakat dan bangsa sekarang di kondisi itu, apakah pemilihan di tubuh lembaga keagamaan seheboh itu, seperti PGI, HKBP, GPIB dan yang lain-lain. Semoga masih didasarkan atas ya di atas ya dan tidak kepada yang tidak? Diiring doa “jangan kehendakKu Bapa, kehendakMu jadilah”.
Memang ada ungkapan “galang do mula ni harajaon” artinya seorang pemimpin harus rajin menjamu dan bersilaturahmi. Tidak ada Batak Toba Tua membeli suara agar dia dipilih jadi Raja. “Manggalang” (menjamu) adalah kewajiban raja hendaknya tidak disamakan dengan “membeli suara” di era demokrasi saat ini.
Jual-beli suara itu bukan kejadian kemarin sore dan hampir semua dilanda “wani piro”. Karena sudah sedemikian runyam , tunggu saja lahir pemimpin “satria piningit” atau “ratu adil”. Kapan itu? Menunggu dengan syarat jangan ikut jual-beli suara merusak tatanan hidup. Kalau sadar ada yang salah jangan ikut menyuburkannya.
Menentukan seseorang “selesai dengan dirinya sendiri” tidak sulit walau tidak ada ukurannya. Tetapi dengan melihat hasil karyanya apalagi petahana apa susahnya? Apakah hasil kerjanya sesuai fungsi, tugas dan tanggung jawabnya ada kemajuan atau jalan di tempat? Apa janji kampanyenya, apakah KKN? Apakah dia melayani atau harus dilayani, apalagi menjadi “raja kecil”.
Memang tidak ada gading yang tak retak. Tetapi kalau retaknya itu sudah mau patah, perlu pikir ulang untuk gunakannya. Sebenarnya kalau gading itu utuh, kenapa tidak dipilih? Itulah mungkin alasan adanya “pendukung kolom kosong” (Koko) di Humbahas dan Kota Siantar. Sudah jelas “imbo sian soarana, ursa sian bogasna” kenapa harus mengeluarkan enerji?
Pernah ada ungkapan “soal kebersihan, ikan di laut nomor satu”, dari seorang petahana dalam membela dirinya. Artinya dia mengakui dirinya “kotor”. Ada lagi “selama ayam makan jagung kita pasti menang”. Bahwa sogok-menyogok dan suap beli suara bukan hanya salah sang pasangan calon, tetapi juga pemilih. Dengan uang tidak lagi melihat retaknya gading dan kotornya ikan. Karena itu ada benarnya pendapat Prof. Frans Magnis Suseno, bahwa pemilihan itu adalah memilih yang kurang buruk dari yang buruk. Pasangan calon dan pemilih serta penyelenggara Pilkada serentak 2020, supaya jurdil dan luber sesuai peraturan yang berlaku. ***
Penulis adalah wartawan senior dan acvokat berdomisili di Jakarta.